RATAS, Salah satu filosofi kebijakan Quota import adalah untuk menyeimbangkan kebutuhan nasional dengan produksi nasional, agar import hanya dilakukan sebatas selisih kebutuhan nasional yang tak mampu dipenuhi oleh produksi nasional.
Jika import tidak diatur quotanya, maka akan terjadi satu dari dua keadaan :
Pertama, import yang dilakukan tidak mencukupi kebutuhan nasional, sehingga akan timbul masalah pada ketahanan nasional. Rakyat akan lapar, kebutuhan hidup tak terpenuhi.
Kedua, import yang dilakukan melebihi kebutuhan nasional sehingga mengancam industri dan produksi nasional. Dampaknya, akan terjadi penurunan produksi yang akhirnya nilai import pada periode selanjutnya akan melonjak naik, karena tahun sebelumnya rakyat enggan berproduksi karena pruduk mereka kalah dengan banjirnya produk import.
Dan selain menentukan import, semestinya Negara memikirkan mencukupi kebutuhan nasional dengan produksi nasional. Artinya, sambil menerapkan kebijakan import, negara juga memperbaiki infrastruktur produksi agar kebutuhan nasional dapat terpenuhi oleh produksi nasional.
Karena ketahanan negara, baik pangan dan energi, terletak bagaimana Negara dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Tahap selanjutnya, negara mendorong peningkatan produksi nasional agar selain dapat menjamin kebutuhan nasional juga dapat melakukan ekspor dan ekspansi ke pasar global, untuk meningkatkan devisa (pendapatan) Negara yang dapat berdampak pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Tapi anehnya, Presiden Prabowo Subianto justru memerintahkan penghapusan kuota impor, terutama atas komoditass yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti daging sapi. (8/4/2025).
Tentu saja, kebijakan ini bertentangan dengan filosofi quota import yang selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, juga untuk memproteksi produksi dalam negeri. Memang benar, ada praktik korupsi dan monopoli import melalui penetapan quota import.
Namun, penyelesaiannya bukan dengan meliberalisasi import dengan menghilangkan batasan jumlah (quota) import. Karena kebijakan ini esensinya hanya memanjakan produsen asing dan mematikan produsen lokal. Kebijakan ini, juga hanya akan menyediakan pasar Indonesia dengan 285 juta penduduknya, untuk pesta produk asing dan membuat kaya raya produsen asing.
Aneh. Saat Amerika yang adidaya saja menerapkan peningkatan kebijakan tarif yang substansinya adalah proteksi industri dan produksi dalam negeri, serta mengamankan pasar nasional dari serbuan produk asing, Indonesia yang masih tertatih justru meliberalisasi pasar dalam negeri melalui kebijakan menghapus Quota import.
Kebijakan non quota import ini sejatinya juga akan makin menyuburkan korupsi. Karena kontrol import tidak bisa dilokasir hanya kepada sejumlah komoditi yang telah ditentukan quotanya. Semua bisa bermain tanpa dibatasi. Iklim ini, menjadi ekosistem korupsi pejabat yang sangat subur. Siapa sih yang tak tahu karakter pejabat kita?
Sebenarnya, kita memang tak bisa mengharamkan import karena ketidakmampuan Negara menstimulasi produksi dalam negeri agar mampu mencukupi kebutuhan nasional. Tapi, semestinya kebijakan import ini dibarengi dengan strategi perbaikan infrastruktur produksi dalam negeri untuk meningkatkan produksi guna mencukupi kebutuhan nasional.
Alih-alih infrastruktur dalam negeri diperbaiki, seperti infrastruktur produksi padi dan ikan dengan memperbaiki dan memperluas area sawah dan tambak, hari ini infrastruktur sawah-sawah dan tambak-tambak produktif di Kabupaten Tangerang malah dirusak, diurug hanya untuk memenuhi kerakusan Aguan berbisnis properti. Dan Prabowo Subianto, diam atas aktivitas masif perusakan infrastruktur sawah dan tambak di kabupaten Tangerang ini. Pada saat yang sama, Prabowo Subianto justru meliberalisasi import dengan menghapus Quota import.
Akan seperti apa masa depan petani dan petambak Indonesia?
Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik