RATAS – Pasca pembongkaran Pagar Laut Tangerang sepanjang 30,16 km yang membentang dari timur ke barat dan sempat menjadi perhatian publik, proses hukumnya tampak mandek.
“Asumsi publik berkembang liar, opini beragam, tetapi mengapa seolah hukum hanya berlaku di Desa Kohod dan hanya menjerat beberapa pihak?” ujar Ketua Aliansi Tangerang Menggugat, H. Gandhi King atau biasa disapa Kang Gandhi, kepada wartawan, Jumat, 14 Maret 2025.
Gandhi mempertanyakan alasan kasus hukum tersebut hanya berfokus pada Desa Kohod, dengan empat terduga yang belum ditetapkan, yakni Alihanafi Lijay, EngCun alias Gozali (eksekutor), dan Mandor Memet (pelaksana proyek). Namun, menurutnya, proses hukum seolah berhenti di titik itu.
“Pelanggaran ini bukan hanya terjadi di satu desa. Seharusnya Mabes Polri menangani kasus ini secara menyeluruh karena pemagaran laut tersebut sudah diketahui publik dan berdampak pada 16 desa di sekitarnya,” tegasnya.
Kasus pagar laut Tangerang mencerminkan ketimpangan penguasaan lahan yang semakin lebar dan berdampak luas. Di sisi lain, pemerintah justru memprioritaskan Proyek Strategis Nasional (PSN) PIK 2 dan percepatan pembangunan Giant Sea Wall di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Pelanggaran Hukum dalam Kasus Pagar Laut
Kasus pagar laut Tangerang diduga melanggar berbagai peraturan perundang-undangan, di antaranya:
Melanggar konstitusi karena pemagaran dilakukan di wilayah laut.
Tidak memiliki izin Kesesuaian Kegiatan
Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL).
Mencemari lingkungan laut, sehingga
Melanggar peraturan lingkungan hidup.
Melanggar peraturan pertanahan akibat penerbitan sertifikat tanah di laut.
“PBHI menduga adanya pelanggaran administratif, pidana, dan unsur korupsi dalam kasus ini,” terang Gandhi.
Dasar Hukum yang Terlanggar
Beberapa undang-undang yang terkait dengan kasus ini antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
3. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3.
4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi.
Tokoh masyarakat Kabupaten Tangerang itu juga menyoroti mandeknya penanganan aspek administrasi, seperti penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) dan Sertifikat Hak Guna (SHG), yang memperparah ketidakjelasan hukum dalam kasus ini.
“Apakah ini cerminan dari tradisi penanganan hukum di Indonesia?” tutupnya dengan penuh tanya.