RADAR TANGSEL RATAS – Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) khawatir, kualitas layanan kesehatan bagi pekerja yang terdaftar di BPJS Kesehatan tidak terjamin akibat adanya sejumlah aturan baru dalam RUU Kesehatan Omnibus Law.
Dikutip dari Suara.com (1/3/2023), Ketua Umum Apindo, Hariyadi Sukamdani, mengatakan kekhawatiran tersebut muncul karena BPJS Kesehatan akan diwajibkan untuk menerima kerja sama yang diajukan fasilitas kesehatan (faskes) yang telah memenuhi perizinan sesuai undang-undang yang berlaku.
Selain itu, hal itu juga bertentangan dengan prinsip sukarela kerja sama BPJS Kesehatan dengan faskes (Pasal 23 UU Sistem Jaminan Sosial Nasional/SJSN) yang membatasi BPJS dalam melakukan seleksi atas faskes yang memenuhi syarat pelayanan.
“Dunia usaha juga melihat biaya penyelenggaraan BPJS Kesehatan potensial meningkat, yang dapat berujung pada kenaikan iuran peserta yang akan membebani pekerja dan pemberi kerja,” tutur Hariyadi, Rabu (1/3/2023).
Pasalnya, menurut Hariyadi, tugas BPJS Kesehatan yang pada dasarnya untuk pelayanan yang bersifat promotif, kuratif dan rehabilitatif harus juga melaksanakan penugasan-penugasan lainnya dari Kementerian yang membidangi Kesehatan. Padahal, dalam UU BPJS (Pasal 13 UU BPJS) tidak ada pengaturan tersebut.
“Penugasan dari Kementerian yang bukan merupakan tugas BPJS Kesehatan potensial membebani Dana Jaminan Sosial (DJS) BPJS,” katanya lagi.
Hariyadi melihat, DJS yang merupakan milik peserta dapat tergerus untuk melaksanakan tugas-tugas kementerian yang semestinya dibiayai dari sumber APBN. Dampaknya, peserta jadi dibebani oleh biaya tugas tersebut melalui iuran yang dibayarkannya.
Hal ini pun, kata Hariyadi, bertentangan dengan salah satu dari sembilan prinsip SJSN dalam mengelola dana amanat, yaitu bahwa DJS yang merupakan dana yang terkumpul dari iuran peserta dan merupakan dana titipan kepada BPJS yang perlu dikelola dan harus digunakan untuk sebesar besarnya kepentingan peserta.
Lebih lanjut, hal lain yang akan potensial membebani DJS antaranya terkait pelayanan kesehatan rawat
inap tanpa batas yang memberikan beban berlebihan terhadap DJS.
“Pelayanan kesehatan rawat inap seyogyanya berpatokan pada penanganan yang wajar terkait indikasi medis dan standar pelayanan medis pra dan pascarawat jalan,” ujar dia.
Ditambah lagi, cakupan pelayanan yang diperluas untuk penanganan medis peserta korban kekerasan dan kecelakaan tunggal juga akan membebani DJS, yang semestinya diatasi oleh program dari institusi lain dengan sumber APBN. (BD)