RADAR TANGSEL RATAS – Baru-baru ini, Bank Dunia (World Bank) merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk menaikkan tingkat garis kemiskinan yang diukur melalui paritas daya beli (purchasing power parity/PPP). Garis kemiskinan diminta dinaikkan dari besaran pendapatan US$ 1,9 per hari menjadi di atas US$ 3 per hari untuk batas penghasilan kelas menengah.
“Sebagai calon negara berpenghasilan menengah ke atas, Indonesia mungkin ingin memperluas fokusnya di luar kemiskinan ekstrem dengan beralih dari garis kemiskinan US$ 1,90 PPP ke garis yang lebih tinggi untuk negara berpenghasilan menengah,” tulis laporan World Bank’s Indonesia Poverty Assessment yang diluncurkan pada Selasa (9/5/2023).
Seperti yang dilansir Detik.com (10/5/2023), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan jika ukuran garis kemiskinan dinaikkan, maka 40% masyarakat Indonesia bisa tergolong miskin. Ukuran garis kemiskinan yang disarankan Bank Dunia itu dinilai belum menggambarkan kondisi perekonomian masyarakat di Tanah Air.
“Ibu Satu Kahkonen (Country Director World Bank Indonesia) katakan di speech-nya ‘ketika Anda (Indonesia) dapat menurunkan kemiskinan ekstrem menjadi nol tapi garis kemiskinan Anda adalah US$ 1,9, Anda harus gunakan US$ 3. Seketika 40% kita semua menjadi miskin,” ungkap Sri Mulyani.
Sri Mulyani menganggap ukuran itu tidak bisa seketika digunakan di Indonesia. Pasalnya masing-masing wilayah memiliki struktur harga yang berbeda sehingga pengeluaran masyarakat untuk hidup juga berbeda satu dengan lainnya.
“Ketika Lebaran saya pulang ke Semarang dan berkeliling menikmati restoran lokal, harganya sangat murah, ini di Semarang salah satu kota besar. Jika ke tempat yang lebih rendah akan lebih murah lagi. Jadi ini adalah kesenjangan daya beli, terutama untuk daerah Jawa yang sudah terkoneksi infrastruktur itu sudah beda lagi,” tuturnya.
Oleh sebab itu, Sri Mulyani menganggap ukuran yang dijadikan acuan Bank Dunia itu perlu ditelaah lebih lanjut untuk menyesuaikan dengan kondisi perekonomian Indonesia. Lagi pula, batasan itu diberlakukan secara global.
“Anda kan menggunakan US$ 3 secara global, tapi ya saya akan minta Pak Elan Satriawan (Ketua Pokja Kebijakan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan atau TNP2K) untuk menjawab pertanyaan itu,” ujar Sri Mulyani.
Elan Satriawan mengatakan tak masalah jika indikator garis kemiskinan Bank Dunia itu digunakan untuk negara-negara berpendapatan menengah. Meski begitu, Indonesia juga harus memiliki garis kemiskinan sendiri yang bisa mengidentifikasi profil masyarakatnya.
“Indonesia perlu punya national proverty line yang bisa diidentifikasi, mengukur kemiskinan yang lebih baik, konsisten, across region, provinsi maupun kabupaten kota,” tuturnya dalam kesempatan yang sama.
Perhitungan BPS soal Kemiskinan
Batas garis kemiskinan Bank Dunia tentu berbeda dengan yang menjadi acuan Badan Pusat Statistik (BPS) di Indonesia. Dalam basis perhitungan terbaru, Bank Dunia menaikkan garis kemiskinan ekstrem dari US$ 1,9 per kapita per hari menjadi US$ 2,15 per kapita per hari.
Bank Dunia pun menaikkan ketentuan batas untuk kelas penghasilan menengah ke bawah (lower middle income class) dari US$ 3,20 menjadi US$ 3,65 per kapita per hari. Lalu batas penghasilan kelas menengah ke atas (upper-middle income class) naik dari US$ 5,50 menjadi US$ 6,85 per kapita per hari.
Sementara itu, BPS mengartikan garis kemiskinan sebagai cerminan nilai rupiah pengeluaran minimum yang diperlukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya selama sebulan, baik kebutuhan makanan maupun non-makanan.
Garis kemiskinan terdiri dari garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan bukan makanan (GKBM). Garis kemiskinan yang digunakan BPS pada September 2022 tercatat Rp 535.547 per kapita per bulan dengan komposisi GKM sebesar Rp 397.125 (74,15%) dan GKBM sebesar Rp 138.422 (25,85%). (BD)