Konflik Relokasi Rempang, Guru Besar IPB: Pemerintah Mengabaikan Hak Warga Setempat dan Lebih Prioritaskan Asing

0
140
Kasus Rempang Eco City bukanlah sekadar konflik lokal. Kasus ini mencerminkan konflik global antara pembangunan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan. (foto: istimewa)

RADAR TANGSEL RATAS – Selama beberapa hari ini, publik dibuat resah oleh kepiluan dan kerisauan warga Rempang di Kepulauan Riau, Batam, yang terancam direlokasi terkait rencana pembangunan Rempang Eco City.

Terlebih, sempat terjadi bentrokan antara warga setempat dengan aparat gabungan yang dikerahkan ke kawasan itu. Bahkan peristiwa tersebut telah menimbulkan jatuhnya korban, termasuk perempuan dan anak anak.

Fenomena tersebut membuat Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University, Prof Didin S Damanhuri angkat bicara. Menurutnya, pemerintah tampak lebih mementingkan investasi dan mengabaikan hak masyarakat setempat.

“Dari sisi regulasi saja sudah ada Omnibus Law. Jadi, kasus Rempang mengabaikan ekonomi lokal dan mengundang asing untuk menggantikan peran-peran investasi atau investor dalam negeri. Jadi, kita lihat pemerintah sangat memprioritaskan asing dibanding lokal,” tutur Didin, dikutip dari kanal Youtube Achmad Nur Hidayat via wartaekonomi pada Senin (18/09/2023).

Didin juga menyebut minimnya perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan dan partisipasi rakyat lokal dalam pengambilan keputusan.

“Jadi, ini dampak dari mengejar pertumbuhan ekonomi secara ekstrem, sehingga negeri ini menjadi semakin dimiliki oleh kalangan sekelompok kecil yang mengendalikan keseluruhan atau yang disebut dengan oligarki,” ungkap Didin.

BACA JUGA :  Ketua Komisi III DPR Dukung Mahfud Bentuk Satgas untuk Usut Transaksi Janggal Rp 349 T

Investasi tersebut, kata Didin, akan menyebabkan peningkatan tumpukan utang negara, karena pemerintah nantinya juga berencana akan membangun berbagai infrastruktur, seperti kereta cepat, bandara, dan pelabuhan.

“Jadi, tata kelola yang buruk ini menimbulkan satu penumpukan utang pemerintah maupun utang BUMN yang mengancam keberlanjutan anggaran, yang sekarang ini bunga dan pokok cicilan itu sudah mengarah ke Rp 1.000 triliun. Jadi, sebenarnya pemerintah akan kerepotan sendiri,” paparnya.

Sebagai informasi, rencana pembangunan kawasan Rempang Eco City pertama kali diusulkan pada tahun 2004, dan dipelopori oleh PT Makmur Elok Graha bersama pemerintah melalui BP Batam dan Pemerintah Kota Batam. Sejak saat itu, proyek ambisius ini menjadi subjek perdebatan dan kontroversi yang tak kunjung reda.

Tahun ini, Rempang Eco City menjadi bagian dari Program Strategis Nasional, seiring dengan Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023, dengan target menarik investasi hingga Rp 381 triliun pada tahun 2080.

Kabar mengenai perusahaan China Xinyi Group yang akan membangun pabrik kaca terbesar kedua di dunia di kawasan Rempang semakin menarik dengan investasi sekitar US$11,6 miliar atau sekitar Rp 174 triliun.

BACA JUGA :  Demi Menampakkan Sisi Humanis, Rambut Polwan Diatur dalam Beleid Baru

Namun, di balik potensi kekayaan dan kemajuan ekonomi yang menarik itu, permasalahan tak terelakkan muncul. Data dari situs BP Batam mencatat proyek ini akan memakan 7.572 hektare lahan Pulau Rempang, atau sekitar 45,89 persen dari total lahan pulau seluas 16.500 hektare. Dampaknya, sejumlah warga harus direlokasi untuk proyek megaton ini. (ARH)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini