Catat! Di Era Jokowi, Terjadi 73 Konflik Agraria Terkait Proyek Strategis Nasional

0
142
Sepanjang tahun 2015 hingga 2023, telah terjadi 73 letusan konflik agraria akibat proyek-proyek strategis nasional. Konflik-konflik itu terjadi di seluruh sektor pembangunan, mulai dari sektor infrastruktur, pembangunan properti, pertanian, agribisnis, pesisir, hingga tambang. (foto: istimewa)

RADAR TANGSEL RATAS – Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyatakan ada 73 konflik agraria yang terjadi dalam kurun waktu delapan tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo akibat proyek strategis nasional (PSN).

Menurut Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika, konflik agraria itu terjadi di seluruh sektor pembangunan, mulai dari pertanian, tambang, hingga pembangunan properti.

“KPA mencatat sepanjang tahun 2015 sampai dengan 2023, telah terjadi 73 letusan konflik agraria akibat proyek-proyek strategis nasional, yang terjadi di seluruh sektor pembangunan baik sektor infrastruktur, pembangunan properti, pertanian, agribisnis, pesisir, dan tambang,” ungkap Dewi dalam diskusi Peringatan Hari Tani Nasional 2023 yang disiarkan daring, Minggu (24/9/2023).

Proyek-proyek yang menyebabkan konflik lahan tersebut, kata Dewi, antara lain pembangunan sirkuit Mandalika Nusa Tenggara Barat (NTB), Bendungan Bulango Ulu Gorontalo, pembangunan tol Padang-Pekanbaru, dan proyek kawasan ekonomi khusus di Gresik, pembangunan PLTA di Pinrang.

Ada pula penambangan Wadas untuk Bendungan Bener, proyek Movieland MNC Lido City Sukabumi, proyek lumbung pangan atau food estate di Sumatera Utara, dan pembangunan Bolaang Mongondow di Sulawesi Utara.

BACA JUGA :  Hasil Sementara Pilpres RI di Luar Negeri, Paslon Prabowo-Gibran Unggul Telak

Proyek selanjutnya yakni Bandara Kayong Utara di Kalimantan Barat, Bendungan Karalloe di Goa, Waduk Lambo di Nusa Tenggara Timur, tol Serang-Panimbang, tol Balikpapan dan Samarinda, pembangunan PLTU Muna, serta proyek cetak sawah baru di Pulau Pisang Kalimantan.

Bukan itu saja. Bahkan pembangunan Waduk Sepaku Semoi yang jadi infrastruktur penunjang ibu kota negara di Kalimantan Timur, pembangunan bandara dan kilang minyak di Air Bangis Sumatera Barat, proyek tambang pasir Royal Boskalis, serta pengadaan tanah bagi infrastruktur penunjang Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Pulau Komodo juga telah menyebabkan munculnya konflik.

“Itulah proyek-proyek strategis nasional yang sepanjang 3 tahun terakhir telah menyebabkan perampasan tanah dan letusan konflik agraria di berbagai wilayah tanah air,” tutur Dewi.

Selain itu, Dewi juga menuturkan bahwa peristiwa di Pulau Rempang, Batam, termasuk dalam konflik agraria akibat proyek strategis nasional. Dia menilai salah satu pemicu pecahnya konflik di Rempang adalah pembentukan badan atau lembaga yang terlalu berkuasa oleh pemerintah.

Dewi menjelaskan, Rempang dikelola oleh Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (BP) Batam. Dewi berpandangan badan semacam ini rentan melakukan kesewenang-wenangan kekuasaan dan korupsi agraria karena mengantongi begitu banyak kewenangan dan aset negara.

BACA JUGA :  Edan! Panji Gumilang Punya 289 Rekening, Mahfud: Rekening-Rekening Itu Agak Mencurigakan

“Inilah praktik domein verklaring tanah hutan terhadap tanah serta perkampungan warga yang berujung pada penggusuran dan pematokan tanah secara paksa oleh pemerintah,” ungkap Dewi.

Konflik agraria yang terbaru terjadi pada awal bulan ini di Pulau Rempang, Batam. Konflik itu terjadi setelah warga menolak direlokasi hanya karena lahan mereka akan digunakan untuk pembangunan kawasan Rempang Eco-City.

Proyek yang dikerjakan oleh PT Makmur Elok Graha (MEG) itu akan menggunakan lahan seluas 7.572 hektare atau sekitar 45,89 persen dari total luas Pulau Rempang. Warga tak setuju dipindahkan karena mwreka mengaku telah turun temurun mendiami kawasan tersebut. (ARH)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini