RATAS – Pelantikan Presiden Prabowo Subiyanto membawa harapan baru bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam pidato kenegaraannya, Presiden Prabowo menekankan pentingnya integritas dan etika dalam pemerintahan.
Ia menegaskan bahwa setiap pejabat, terutama di posisi tertinggi, harus menjadi teladan dalam menjaga kebersihan dan transparansi. Presiden juga mengingatkan bahwa para pemimpin harus mengabdi sepenuhnya untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi, keluarga, ataupun kerabat.
Pekerjaan rumah pertama yang harus diselesaikan Kabinet Merah Putih berkaitan dengan Tenaga Kesehatan adalah Kasus PHK massal anggota Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI) yang dilakukan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin.
Kasus PHK massal harus menjadi prioritas Prabowo-Gibran dalam merealiasikan janji yang tertuang dalam Asta Cita, yaitu memperkuat Sistem Kesehatan Nasional. Secara detail tertulis tentang peningkatan pelayanan kesehatan yang berkualitas, adil, dan merata melalui peningkatan sarana dan prasarana, serta meningkatkan kesejahteraan tenaga kesehatan. Namun Kasus PHK Massal Anggota KTKI justru sebaliknya.
Bagaimana tidak, PHK massal yang dilakukan oleh Menkes Budi Gunadi Sadikin terhadap anggota Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI) memicu persoalan serius terkait Hak Asasi Manusia. Para anggota KTKI, yang terdiri dari berbagai latar belakang seperti ASN, tenaga kesehatan, dan profesional dari berbagai daerah, diberhentikan secara sepihak tanpa proses yang transparan atau mitigasi yang layak.
Keputusan PHK Massal ini dilakukan sebagai konsekuensi dari Keppres 69/M/2024. Padahal Keppres Nomor 69/M/2024 ini tidak menjadikan Keppres Nomor 31/M Tahun 2022 sebagai konsideran. Keppres Nomor 31/M Tahun 2022 berisi masa jabatan selama lima tahun bagi Anggota KTKI. Dampak PHK Massal sangat memukul para perempuan Anggota KTKI yang menjadi tulang punggung, atau bahkan sudah menjadi janda.
Salah satunya adalah Tri Moedji, anggota KTKI dari Konsil Keteknisian Medis (KKM) yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Instalasi Rekam Medis di UPT Kementerian Kesehatan di Propinsi Banten, kini harus beralih profesi menjadi driver taksi berbasis online demi memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Sebagai seorang single parent dan tulang punggung keluarga, Tri Moedji kini harus berjuang untuk menafkahi dirinya dan kakaknya yang menderita komplikasi stroke dan hipertensi.
Nasib serupa dialami oleh Akhsin Munawar dan Acep Effendi, yang memilih pensiun dini setelah mendapat kepastian masa jabatan lima tahun dari Keppres, dan menggunakan Keppres tersebut untuk mengajukan cicilan rumah.
Kini, setelah diberhentikan secara tiba-tiba, mereka menghadapi ketidakpastian mengenai bagaimana ia akan memenuhi kewajibannya untuk memnbayar cicilan rumah karena telah menjadikan Keppres Nomor 31/M Tahun 20224 sebagai jaminan untuk meminjam uang pada BTN.
Acep Effendi, salah satu korban PHK massal, menyoroti bahwa kebijakan Menkes yang awalnya fokus pada melindungi tenaga kesehatan justru berbalik, dengan KTKI sebagai lembaga non-struktural independen turut menjadi korban perundungan.
Kritik juga dilontarkan terkait respons arogansi pejabat Kemenkes yang menganggap PHK ini sebagai “resiko jabatan,” padahal para anggota KTKI diangkat secara sah melalui Keppres dan memiliki hak yang jelas selama masa jabatan mereka.
“Saya PNS Dinkes IV/C dari NTT yang memperoleh rekomendasi atasan untuk pensiun dini. Dengan surat persetujuan Gubernur NTT, Bapak Viktor Laiskodat ke BKN untuk pensiun dini tahun 2022, karena pertimbangan Kepres KTKI dengan lima tahun, bersamaan dengan batas akhir pensiun. Saya memilih untuk menjadi Anggota KTKI karena LNS adalah Pejabat Negara. Tentunya kebanggaan sebagai putra daerah NTT yang terpilih dari ratusan entomolog se-Indonesia,” kata Acep Effendi.
Karena ada kewajiban dari Dirjen Nakes waktu itu yakni drg. Arianti Anaya melalui Set KTKI bahwa kami harus berdomisili di Jakarta, dirinya pun mengambil cicilan rumah daripada membayar kontrak untuk 5 tahun.
“Namun sebelum sampai 5 tahun, 2 tahun malah, kami semua di PHK massal. Padahal Kepres 31/M/2022 yang saya jaminkan untuk mengambil cicilan rumah di bank pemerintah untuk jangka waktu nenyesuaikan Kepres. “Lalu setelah kami di PHK Massal, maka siapa yang akan membayar cicilan rumah saya nantinya?” kata Acep dengan pilu. Namun patut disayangkan, ketika hal ini dikonfirmasi ke Arianti Anaya sebagai Mantan Dirjen Nakes yang buat kebijakan wajib domisili di DKI Jakarta bagi Anggota KTKI, tidak bersedia diwawancarai. Pesan singkat melalui WhatsApp juga tidak dibalas.
Chandi Lobing, anggota KTKI dari Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, juga menyoroti bahwa bahkan korporasi memiliki mitigasi yang lebih baik dalam menangani PHK massal, sementara Kementerian Kesehatan justru melakukan tindakan ini secara sembrono tanpa mitigasi yang memadai.
Para anggota berharap Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabumingraka dapat merealisakan janji Merah Putih-nya. Prabowo-Gibran dalam komiten Merah Putih menyebutkan dalam Asta Cita.
“Negara menjamin dan penegakan proses penanganan masalah hukum secara profesional, transparan, dan berintegritas serta mencegah hukum dijadikan sebagai alat politik kekuasaan”, jelas Rahmaniwati, anggota KTKI yang pernah memenangkan perkara PTUN menggugat Menkes di medio awal 2000-an.
Rachma Fitriati Anggota KTKI yang juga Dosen FIA UI & Peneliti LNS menyampaikan: “Seyogyanya, Presiden memberikan perhatian dan solusi untuk menyelesaikan masalah PHK Massal ini, serta menjaga marwah Lembaga Non Struktural (LNS) yang seharusnya independen dari campur tangan pemerintah.” Anggota KTKI meminta agar pemerintah mengembalikan keadilan dan melindungi hak-hak mereka sebagai Pejabat Negara yang telah melalui seleksi terbuka yang amat ketat, diangkat dengan Keppres dan telah menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab selama masa jabatan mereka.
Menkes harus memikirkan dampaknya bagi masyarakat, karena terganggunya layanan publik. Banyak keluhan masuk ke Anggota KTKI, berapa banya tenaga kesehatan yang tidak dapat mengurus STR baik baru, perpajangan atau perubahan data karena terhentinya pelayanan yang menyebabkan nakes tidak dapat melamar pekerjaan, dsb.(HDS)