RADAR TANGSEL RATAS – Gempa berkekuatan 6,8 magnitudo yang terjadi pada hari Jumat (8/9/2023) pukul 23.11 waktu Maroko telah menelan lebih dari 2.600 korban jiwa, dan jumlah korban tewas diperkirakan bakal terus bertambah. Rumah dan bangunan pun hancur tak terhitung jumlahnya.
Para ilmuwan memanfaatkan pengetahuan geologi di wilayah tersebut untuk mencari tahu bagaimana gempa terjadi, mengapa gempa sangat mematikan, dan apa yang belum terungkap mengenai kekuatan di balik tragedi itu.
Menurut Judith Hubbard, ilmuwan gempa di Cornell University, seperti yang dikutip dari National Geographic, wilayah Maroko adalah wilayah aktif secara seismik, tapi gempa berkekuatam besar jarang terjadi. Ia menyebut gempa di Maroko kemarin lebih besar dibandingkan gempa-gempa yang pernah tercatat di kawasan itu sebelumnya.
Hubbart melihat, banyak faktor yang menyebabkan besarnya kehancuran akibat gempa Maroko. Salah satunya karena terjadi pada malam hari, ketika banyak orang tidak mampu bereaksi cepat dan banyak bangunan di wilayah tersebut tidak dirancang untuk tahan terhadap gempa sekuat itu.
“Masyarakat di wilayah ini cenderung tinggal di dataran yang dipenuhi sedimen di utara pegunungan, atau di lereng pegunungan itu sendiri. Kedua situasi ini dapat memperburuk kerusakan. Sedimen aluvial yang lebih lemah dapat memperkuat guncangan, dan pegunungan rentan terhadap tanah longsor, termasuk di sepanjang jalan menuju desa pegunungan,” papar Hubbard.
Selain itu, kata Hubbard, video-video juga menunjukkan orang-orang yang melarikan diri dari bangunan, berakhir di jalan sempit di antara bangunan sehingga berisiko terkena puing dan batu yang berjatuhan. “Menemukan tempat yang aman, jauh dari bangunan, tampaknya sulit,” kata Hubbard.
Meski gempa tersebut selesai dalam hitungan detik, kata Hubbard, bencana yang ditimbulkannya bisa berlangsung selama bertahun-tahun.
“Kami masih belum mengetahui secara pasti seberapa mematikan gempa tersebut, terutama bagi masyarakat yang tinggal di daerah terpencil. Semakin banyak desa yang dijangkau, jumlah korban tewas akan terus meningkat,” ungkap Hubbard.
Menurut ilmuwan lainnya, Afrika Utara terletak di lempeng Nubia, sehingga disebut lempeng Afrika, yang bergerak perlahan terhadap lempeng Eurasia. Maroko ada dekat di wilayah ini, tapi tidak berada di perbatasan lempeng tektonik tersebut. Maroko adalah rumah bagi jaringan patahan aktif yang bervariasi, termasuk banyak patahan yang melintasi pegunungan High Atlas.
Gempa kecil kerap terjadi di kawasan itu, dan pergerakan bertahap di sepanjang batas lempeng ini berarti bahwa gempa besar relatif jarang terjadi.
Ilmuwan sering mengutip dua contoh yang sangat serius di wilayah itu. Pertama, gempa besar pada 1755 di Meknes yang besarnya tidak pasti, menewaskan sekitar 15 ribu orang. Kedua, gempa di Agadir tahun 1960 berkekuatan 5,8 magnitudo, menewaskan 12 ribu orang.
Ahli seismologi di Royal Observatory Belgia, Thomas Lecocq, menuturkan bahwa gempa besar dapat menyerang semua jenis jaringan patahan. Ini hanya masalah tekanan dan waktu.
“Ada banyak ketegangan di kerak Bumi di sekitar pegunungan High Atlas. Dan peristiwa ini sepertinya benar-benar melepaskan ketegangan itu,” katanya.
Meskipun gempa besar di wilayah tersebut tidak dapat dihindari, kata Lecocq, lokasi gempa pada hari Jumat (8/9/2023) cukup mengejutkan.
Sementara menurut Jascha Polet, ahli seismologi dan profesor emeritus di California State Polytechnic University Pomona, sebagian besar kegempaan di Maroko terkait dengan pergerakan di perbatasan antara lempeng Afrika dan Eurasia. “Dan oleh karena itu tingkat bahaya seismik tertinggi diperkirakan terjadi di bagian utara negara tersebut,” tuturnya.
Polet menjelaskan, gaya keruntuhan diperkirakan merupakan kombinasi abstrak dari dua jenis. Pertama, terjadi sesar dorong terbalik yang membuat satu blok kerak Bumi berguncang ke atas dan menimpa yang lain. Kedua, sesar mendatar yang membuat satu blok bergerak ke samping terhadap blok yang lain.
Di sisi lain, tim Survei Geologi AS menghitung kedalaman 16 mil untuk gempa Maroko beberapa waktu lalu. Tapi, kompleksitas jaringan patahan yang sangat besar di wilayah ini, dan kurangnya survei resolusi tinggi di beberapa wilayah, menyebabkan tidak jelasnya patahan mana yang menjadi penyebabnya. (ARH)