RADAR TANGSEL RATAS – Dokter spesialis anak Kurniawan Satria Denta mengatakan bahwa 42,6 persen balita di Indonesia sudah terpapar minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Menurut dia, hal ini sangat berbahaya sekali.
“Semakin dini seseorang terpapar minuman berpemanis, semakin tinggi kemungkinan risikonya menghadapi kondisi obesitas,” kata Kurniawan dalam Forum for Young Indonesians (FYI) bertajuk Dunia Tipu-tipu Minuman Berpemanis Dalam Kemasan, Sabtu (17/9), seperti yang dirilis Liputan6.com (18/9).
Selain risiko obesitas atau kelebihan berat badan, risiko penyakit lain juga bisa timbul pada orang yang gemar mengonsumsi MBDK. Penyakit-penyakit tersebut termasuk diabetes, penyakit jantung, ginjal, pembuluh darah, kanker, stroke, gangguan cemas, gangguan perilaku, dan demensia atau pikun.
“Masih suka agak-agak lemot? Coba dikurangi gulanya,” ujarnya dalam acara yang diselenggarakan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI).
Bahkan, lanjut Kurniawan, bagi sebagian orang konsumsi gula berlebih dapat membuat mereka resisten terhadap insulin. Akibatnya, jika terkena COVID-19 maka gejalanya lebih parah.
“Jadi yang namanya penyakit tidak menular sebenarnya tidak berdiri sendiri. Berbeda dengan penyakit menular. Keduanya berkesinambungan, ketika kita memiliki penyakit yang tidak menular, kita lebih rentan menghadapi penyakit menular yang lebih berat,” tutur Kurniawan.
Ia lalu menjelaskn bahwa gula acap kali menjadi biang kerok dari berbagai penyakit tidak menular. Sebab, gula, butiran-butiran kecil dari tebu, dan gula sintetik bekerja dalam tubuh tidak hanya di level permukaan tapi hingga level molekuler, seluler. “Hingga level terkecil dalam tubuh kita yaitu DNA,” ungkapnya.
Kinerja gula dalam tubuh yang mencapai level DNA, kata Kurniawan, membuat pengaruhnya menjadi sangat sistemik. Tak hanya membuat gigi berlubang, tapi jantung pun bisa berlubang akibat gula.
“Pengaruhnya bisa jadi sangat sistemik, enggak cuma bisa bikin gigi bolong, tapi juga bisa bikin jantungnya bolong. Tidak hanya bisa memporakporandakan ginjal, tapi juga bisa memporakporandakan hati atau liver kita,” ujarnya.
Lantas, apa yang dilakukan gula dalam tubuh? Menjawab pertanyaan ini, Kurniawan memberikan perumpamaan pada kenop yang biasa digunakan untuk mengatur tinggi rendahnya volume. “Cara kerja gula di level molekuler seperti kenop volume, apa yang diatur oleh gula adalah risiko-risiko kita terhadap diabetes,” papar Kurniawan.
Jika kenop diputar ke arah kanan, kata Kurniawan, maka volume akan lebih tinggi atau nyaring. Sebaliknya, jika diputar ke arah kiri maka volume akan semakin rendah bahkan bisa sampai tidak terdengar. Ini sama halnya dengan gula dalam tubuh.
Kurniawan menjelaskan, yang bisa “memutar kenop” ke arah kanan adalah konsumsi gula berlebih, sehingga risiko diabetes semakin tinggi. Sebaliknya, untuk meminimalisasi risiko diabetes maka konsumsi gula pun perlu dikurangi. (BD)