RADAR TANGSEL RATAS – Kasus kejahatan siber makin kerap terjadi di Indonesia. Tidak hanya menyerang dunia usaha, tapi juga instansi milik negara seperti BPJS Ketenagakerjaan hingga Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
Seperti yang dirilis oleh Liputan6.com (26/3/2023), National Cyber Security Index (NCSI) mencatat skor indeks keamanan siber Indonesia sebesar 38,96 poin dari 100 poin pada tahun 2022 lalu.
Angka itu menempatkan Indonesia berada di peringkat ketiga terendah di antara negara-negara G20. Sementara secara global, Indonesia menduduki peringkat ke-83 dari 160 negara yang ada dalam daftar laporan tersebut.
Tapi sayangnya, dengan kondisi yang sangat rentan seperti itu, pemerintah terkesan belum serius dalam menangani kejahatan dunia maya. Upaya perbaikan untuk meningkatkan keamanan siber Indonesia sepertinya masih jauh dari yang diharapkan.
Menurut Chairman Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja, ada masalah ego sektoral kronis yang parah dalam penanganan keamanan siber di Indonesia.
“Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan birokrasi. Nah kalau pendekatan birokrasi, masing-masing sektor akan punya ‘kerajaan-kerajaan kecil’ yang harus didahulukan,” tuturnya dalam keterangan tertulis, Minggu (26/3/2023).
Sedangkan pada pendekatan di cyber security, kata Ardi, harus agile dan out of the box. “Karena kita ini berlomba dengan waktu dan ini juga terkait dengan nyawa manusia serta kelangsungan hidup dunia usaha,” ungkapnya
Penanganan kejahatan siber selama sekian tahun ini, menurut Ardi, hanya terfokus pada apa yang terlihat di puncang gunung es, padahal ancaman siber yang sesungguhnya itu ada di bawah permukaan gunung es yang tidak terlihat.
Lalu, terkait peretasan yang terjadi dalam kejahatan siber, kata Ardi, kejadian itu bukan hanya sudah berkali-kali, tapi sudah menjadi kejadian sehari-hari yang disadari dan tidak.
“Bahkan ada kejadian besar terhadap bank asing yang beroperasi di Indonesia, justru luput dari pemberitaan media dan sampai sekarang ada yang tidak tahu. Kejadiannya justru meledak di Australia,” ungkap Ardi.
Ia menjelaskan, dalam menangani tindak kejahatan siber, pemerintah masih sebatas menjadi penonton di lapangan dan tidak menjadikan masalah isu keamanan dan ketahanan siber menjadi agenda nasional yang mengancam keamanan nasional.
Ardi melanjutkan, beberapa Duta Besar dari negara tetangga bahkan sudah menyampaikan kekhawatiran negara mereka terkait keamanan siber di Indonesia.
“Overhaul kebijakan keamanan siber nasional dimulai dari badan yang seharusnya menangani keamanan siber agar lebih agile, gaul dan lebih profesional, serta paham arti kolaborasi. Pemerintah harus menjadikan Keamanan dan Ketahanan Siber sebagai program nasional dan internasional,” tuturnya. (BD)