Stunting di Maluku-Papua Cukup Tinggi, Mendagri: Karena Masyarakatnya Pilih Makan Mie daripada Ikan

0
67
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan prevalensi balita stunting di tahun 2018 mencapai 30,8 persen. Artinya, satu dari tiga balita mengalami stunting. Selain itu, Indonesia juga menjadi negara dengan anak stunting tertinggi kedua di Kawasan Asia Tenggara dan kelima di dunia. (foto: istimewa)

RADAR TANGSEL RATAS – Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengungkap angka stunting di Maluku dan Papua cukup tinggi saat ini. Menurutnya, hal itu disebabkan karena masyarakat di sana tidak mengutamakan konsumsi yang tinggi gizi seperti ikan.

Menurut Tito, masyarakat Papua dan Maluku malah menjual ikannya dan digunakan untuk membeli mie instan. Ia menyayangkan tindakan itu dan menyebabkan angka stunting di daerah tersebut tinggi.

“Makanan ikan banyak sekali di Maluku, Papua, tetapi stuntingnya tinggi, kenapa? Karena bosen makan ikan, ikannya dijual kemudian dibelikan mi instan. Bayinya dibelikan mi instan, ya itu kalorinya tidak ada lagi, gizinya nggak ada,” katanya dalam acara Peluncuran Gerakan Pangan Murah Serentak Nasional di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Senin (26/6/2023).

Dalam acara tersebut, Tito menyampaikan bahwa untuk menurunkan angka stunting di Indonesia, terutama di bagian timur, pemerintah terus mensosialisasikan kepada masyarakat tentang pentingnya mengonsumsi ikan. Ia meminta agar para orang tua bisa lebih kreatif kembali untuk membuat anak-anaknya gemar makan ikan.

BACA JUGA :  Aduh! Resesi Kedua Sudah di Depan Mata, IMF: Sepertiga dari Ekonomi Dunia Bakal Terdampak

“Itu dibuat sedemikian rupa, supaya anak anak suka, mungkin dagingnya dibentuk sedemikian rupa seperti permen mungkin. Jadi, anak anak suka makan ikannya gak bosen cara-caranya itu saja,” tuturnya.

Selain itu, Tito juga mensosialisasikan ajakan agar masyarakat Indonesia Timur kembali mengutamakan makanan pokok lokal, seperti sagu, singkong, ubi, hingga jagung. Sebab, komoditas itu dinilai tingi gizi dan tidak tergantung dengan impor seperti beras.

“Jadi kembali ke makanan pokok itu, sehingga bisa mengurangi ketergantungan demand permintaan beras yang notebennya impor,” ujarnya. (ARH)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini