RADAR TANGSEL RATAS – Pelayanan kesehatan di Rumah sakit di Jalur Gaza semakin memprihatinkan dan menyedihkan akibat blokade pasukan Israel yang memutus pasokan listrik, makanan, dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya di wilayah tersebut.
Seperti yang dilansir AP News (22/10/2023), banyak pula pasien yang kurang mendapatkan perawatan secara optimal, bahkan mereka menjalani operasi tanpa anestesi atau obat bius.
“Tidak ada yang lebih ngeri dari jeritan pasien yang dioperasi tanpa cukup anestesi, kecuali mungkin wajah-wajah penuh ketakutan mereka yang menunggu giliran operasi,” ungkap seorang ahli bedah ortopedi dr Nidal Abed (51) tahun.
dr Nidal bercerita, semakin banyak korban terluka imbas serangan Israel yang kian intensif. Saking penuhnya rumah sakit, dr Nidal melakukan tindakan medis, termasuk pembedahan darurat kepada pasien di manapun yang dia bisa, lantai koridor, dan lainnya.
Menurut dr Nidal, tanpa persediaan medis yang cukup, pihaknya hanya bisa merawat pasien dengan apa pun yang ditemukan, seperti pakaian untuk perban, cuka untuk antiseptik, jarum jahit untuk alat bedah.
“Kami kekurangan segalanya, dan kami menghadapi operasi yang sangat rumit,” kata dr Abed, yang bekerja dengan Doctors Without Borders, kepada The Associated Press dari Rumah Sakit Al Quds. “Orang-orang ini ketakutan, begitu juga saya. Tapi tidak mungkin kami mengungsi,” ia menambahkan.
Dikabarkan pula, selain krisis obat-obatan, di sana juga kekurangan air bersih. Persediaan dasar untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah infeksi juga semakin menipis. Ditambah lagi bahan bakar untuk generator rumah sakit semakin berkurang.
“Makanan, air dan obat-obatan pertama kali masuk ke Gaza dari Mesir pada hari Sabtu setelah terhenti di perbatasan selama berhari-hari. Empat truk konvoi bantuan dari 20 truk membawa obat-obatan dan pasokan medis,” ungkap Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Meski demikian, pekerja bantuan dan dokter mengatakan bantuan tersebut tidak cukup untuk mengatasi krisis kemanusiaan yang semakin meningkat di Gaza.
“Ini mimpi buruk. Jika bantuan tidak bisa masuk, saya khawatir kita akan sampai pada titik di mana pergi ke rumah sakit akan lebih banyak ruginya daripada manfaatnya,” kata Mehdat Abbas, seorang pejabat di Kementerian Kesehatan yang dikelola Hamas.
Seperti diketahui bersama, Israel mulai melakukan pengeboman setelah militan Hamas menyerbu perbatasan pada 7 Oktober. Serangan Israel itu telah menghancurkan lingkungan sekitar, menutup lima rumah sakit, menewaskan ribuan orang dan melukai lebih banyak orang daripada yang mampu ditangani oleh fasilitas kesehatan lainnya. (ARH)