Dugaan Maladministrasi dalam Proses Pengeluaran Kepres Konsil Kesehatan Indonesia oleh Kementerian Sekretariat Negara

0
19

RATAS – Sejumlah Komisioner KTKI-Perjuangan melaporkan dugaan maladministrasi dalam proses pengeluaran Keputusan Presiden (Kepres) No. 69/M/2024 terkait Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) kepada Ombudsman Republik Indonesia. Laporan ini berkaitan dengan dugaan ketidaksesuaian prosedural dalam pengeluaran Kepres tersebut oleh Kementerian Sekretariat Negara (Kemensesneg).

Rahmaniwati, Komisioner KTKI yang juga mantan pejabat di Kementerian Kesehatan (Kemenkes), menegaskan bahwa Kepres No. 69/M/2024 berpotensi melanggar prinsip keterbukaan informasi publik. Menurutnya, Kemensesneg seharusnya memberikan klarifikasi terkait dasar pengeluaran Kepres tersebut melalui prosedur yang transparan.

“Karena mengedepankan asas keterbukaan, Kepres ini patut diduga melanggar azas administrasi yang baik. Kami, KTKI-Perjuangan, meminta klarifikasi melalui Ombudsman terkait proses pengeluaran Kepres No. 69/M/2024,” ujar Rahmaniwati. Ia juga menyayangkan penggunaan surat KM.04.01/Menkes/690/2024 sebagai dasar pertimbangan (konsideran) dalam Kepres tersebut.

Surat tertanggal 30 September 2024 itu, menurut Rahmaniwati, berisi hasil seleksi calon pimpinan KKI periode 2024-2028. Namun, surat itu tidak mencantumkan daftar nama calon yang lulus seleksi, meskipun pada tanggal yang sama pengumuman hasil seleksi telah dipublikasikan. “Ini menunjukkan potensi pelanggaran asas keterbukaan,” kata Rahmaniwati.

BACA JUGA :  Catat! Syarat Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Makin Diperketat, Investor Tak Bisa Kuasai Pulau Secara Utuh

Pelanggaran Prosedural dan Pertimbangan Usia Pensiun

Komisioner KTKI lainnya, Tri Moedji Hartiningsih, mempertanyakan apakah Kemensesneg telah mempertimbangkan dengan cermat surat Menkes yang digunakan sebagai dasar pengeluaran Kepres tersebut. “Surat Menkes KM.04.01/Menkes/690/2024 tidak layak dijadikan legal standing, terutama karena jumlah calon yang diusulkan melebihi dua kali jumlah yang dibutuhkan,” tegas Tri. Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No. 12/2024 Pasal 13, Menteri Kesehatan seharusnya mengusulkan calon pimpinan KKI sebanyak dua kali jumlah kebutuhan.

Selain itu, Akhsin Munawar, komisioner KTKI yang hadir langsung di Kantor Ombudsman dari Jambi, mengungkapkan bahwa tiga orang yang ditunjuk sebagai unsur pemerintah dalam Kepres tersebut ternyata memiliki masalah terkait batas usia Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ketua KKI yang terpilih, yang sudah pensiun per 1 Oktober 2024, seharusnya tidak lagi dapat mewakili unsur pemerintah. Dua anggota lainnya yang dipilih berusia 62 dan 63 tahun, padahal masa kerja KKI adalah empat tahun. “Mengapa Deputi Bidang Administrasi Aparatur Kemensesneg tidak melakukan telaah terlebih dahulu sebelum meminta Presiden Jokowi menandatangani Kepres ini?” tanya Akhsin.

BACA JUGA :  Otoritas Malaysia Kembali Pulangkan 12 Ribu Warga Asing, Mayoritas dari Indonesia-Filipina

Potensi Maladministrasi dalam Penunjukan Ketua dan Wakil Ketua KKI

Komisioner Muhammad Jufri Sade, yang juga mantan pejabat Kemenkes, mengungkapkan bahwa penunjukan Ketua KKI yang sudah pensiun dan dua anggota lainnya yang akan segera memasuki usia pensiun diduga melanggar ketentuan administrasi dan kepegawaian. “Seharusnya, para pejabat ini mengajukan pensiun dini, bukan diberhentikan sementara. Ini bisa dianggap sebagai maladministrasi oleh Kemensesneg,” jelas Jufri.

Acep Effendi, Komisioner KTKI lainnya, juga menyoroti masalah usia pensiun bagi anggota KKI yang mewakili unsur pemerintah. “Sebagai pejabat negara, mereka harus menyadari etika dan prosedur terkait pensiun dini. Jika usia mereka sudah mendekati 65 tahun, seharusnya dilakukan Pergantian Antar Waktu (PAW),” ungkap Acep.

Terkait Rangkap Jabatan dan Pelanggaran Etika

Ismail, komisioner KTKI, mengungkapkan kekhawatiran tentang dugaan rangkap jabatan yang dilakukan oleh pimpinan KKI yang juga menjabat sebagai Direktur Utama RSCM dan Wakil Direktur RSUD Lampung. “Sebagai pejabat negara, seharusnya mereka memberi contoh teladan untuk tidak rangkap jabatan, terlebih jika mereka masih berstatus sebagai PNS yang seharusnya sudah mengundurkan diri,” tegas Ismail.

BACA JUGA :  Soal Pasal Perzinahan dan Kohabitasi, Wamenkumham: Turis Asing Tak Akan Terdampak

Pelanggaran Azas Akuntabilitas dan Kepatutan

Agus Budi Prasetyo, Komisioner KTKI, menambahkan bahwa ada dugaan pelanggaran asas akuntabilitas dan kepatutan terkait penetapan anggota unsur pemerintah yang sudah pensiun. “Penetapan ini jelas tidak sesuai dengan prinsip Lembaga Non-Struktural (LNS), yang mengedepankan kolektif kolegial. Berbeda dengan Kepres sebelumnya yang mencerminkan prinsip tersebut,” kata Agus.

Harapan terhadap Ombudsman

Rachma, Komisioner KTKI dan Dosen Ilmu Administrasi UI, berharap agar Ombudsman dapat memanfaatkan wewenangnya sesuai dengan UU Nomor 37 Tahun 2008 untuk memberikan rekomendasi kepada Presiden atau penyelenggara negara lainnya. “Kami berharap Ombudsman dapat memberikan saran agar proses pengeluaran Kepres LNS ini mengikuti prinsip good governance dan mencegah maladministrasi di masa depan,” ujar Rachma. Ia juga mendorong agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden merumuskan SOP terkait keluarnya Kepres LNS untuk mencegah maladministrasi di masa yang akan datang. (HDS)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini